SHARE

Ilustrasi

CARAPANDANG.COM - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pejabat negara secara struktural ialah jabatan yang terdapat di struktur organisasi (komunitas) formal sehingga tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak pejabat atau pegawai bersangkutan sudah diatur.

Sedangkan menurut C.F. Strong ia mengartikan pemerintahan dalam artian luas, yang diartikan sebagai organisasi negara yang utuh dengan segala alat kelengkapan negara yang memiliki fungsi legislative, eksekutif dan yudikatif. Kemudian menurut Bagir Manan, jabatan adalah lingkungan kerja tetap yang bersifat abstrak dengan fungsi tertentu, yang secara keseluruhan mencerminkan kerja organisasi.

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Bagir Manan mengenai definisi dari pejabat negara, hal tersebut juga dipertegas dalam Undang-Undang No 5 tahun 2014 tentang ASN, terkhusus dalam pasal 6 UU ASN menjelaskan bahwa Aparatur Sipil Negara terdiri dari dua jenis, yakni pegawai yang berstatus Pegawai Negri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Pada saat ini kita telah mengetahui bahwa sekarang banyak sekali kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penjabat yang merugikan negara. Terutama pada tahun 2020 ini, menurut ICW sebagaimana yang dikutip Kompas terdapat 169 kasus korupsi yang disidik penegak hukum,  139 diantaranya merupakan kasus korupsi baru. Kemudian 23 pengembangan kasus dan 23 lainya adalah operasi tangkap tangan. Total tersangka yang di tangkap sebanyak 372 orang, yang menyebabkan kerugian Negara sebesar 18,1 triliun.

Adapun kebijakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan pada tahun 2020 yang merugikan para masyarakat,  yang lebih kita kenal dengan kebijakan Omnibus Law. Dalam hal tersebut, membuat hati kecil dalam diri kita bertanya-tanya? tentang apa yang mendasari mereka untuk melakukan hal yang merugikan orang lain bahkan merugikan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya.

Atas dasar ekonomi, keinginan memperkaya dirinya atau demi kepentingan kelompoknya kita mungkin tidak tahu, bahkan tidak tahu sama sekali. Mereka rela menjadi "maling" di negrinya sendiri, yang  tidak memiliki rasa kemanusian sama sekali. Bahkan mereka hanya memberikan sebuah iming-iming yang sekedar manis dibibir tapi pahit direalitanya. Demi apa? Mungkin demi mendapatkan kedudukan yang dinginkanya, atau demi tujuan tertentu untuk dirinya sendiri.

Hilangnya hati nurani 

Pada dasarnya, setiap manusia pasti memiliki hati nurani dalam dirinya yang selalu cenderung kepada kebenaran. Artinya bahwa setiap manusia dalam melakukan tindakannya selalu diiringin dengan sifat fitrahnya yang selalu mengarah kepada kebenaran, sehingga apabila perbuatan tersebut jauh dari kata benar maka manusia tidak akan melakukan tindakan tersebut.

Tapi nyatanya, nurani di zaman sekarang ini perlahan mulai dikesampingkan eksistensinya oleh oknum pejabat negara, dengan tujuan menyelesaikan masalah perut diri sendiri atau kepentingan kelompok. Oleh karena itu, Korupsi adalah bentuk tindakan dari sebuah jawaban demi memenuhi kepentingan mereka. Padahal dalam melakukan tindakan tersebut, mereka sadar bahwa barang itu bukanlah hak milik mereka.

Hal demikian semakin menegaskan seakan nurani itu hanyalahkan sebuah poster jalanan, sekedar menarik simpati biar menyakikan agar rencananya dapat berjalan sesuai keinginanya.

Dasar negara Indonesia  yakni Pancasila yang di dalamnya memiliki subtansi yang menyatakan bahwa “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia” hanya sebuah kata tanpa bukti yang jelas dan konkrit, apabila kita lihat kondisi saat ini dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas, maka kalimat yang terdapat pada sila kelima Pancasila tidaklah salah apabila diubah banyak kalangan masyarakat menjadi “keadilan sosial hanya untuk orang kaya”.

Di saat ini Keadilan bagi masyarakat nampak tidak ada lagi, mungkin kata “keadilan” itu ada dan diakui keberadaanya hanya untuk segelintir orang, yakni orang-orang kaya yang memiliki sumber daya untuk memainkan keadilan demi keuntungan individu atau kelompoknya. Membuat kebijakan tetapi seolah-olah kebijakan tersebut bertujuan untuk kepentingan mereka pribadi, bukan untuk kepentingan masyarakat.

Sungguh sulit untuk memahami keinginan dan tindakan yang mereka lakukan saat ini bagi masyarakat tertindas seperti kita, ingin ku tangisi namun tak pantas. Apa yang mereka lakukan, kita cuman bisa mengikuti, suara yang mewakili rakyatnya kini tak lagi dihiraukan. Hanya sekadar didengarkan namun tidak ada lagi bukti untuk menindak lanjuti. 

Ingin rasanya penulis menyalahakan, tetapi tidak tahu menyalahkan kepada siapa? Sedangakan kita hanya kaum tertindas yang tidak memiliki sumber daya untuk menegakan keadilan, jangankan untuk menegakan keadilan sosial bagi seluruh rakyar Indonesia, mengisi perut pun belum tentu terjamin untuk setiap harinya.

Sebagaimana pejelasan yang dipaparkan oleh penulis di atas, itulah yang penulis maksud dengan penjabat seperti rayap di negerinya sendiri yang selalu mengambil keuntungan sendiri (korupsi) dari jabatan yang telah diamanahkan. Sejauh mata memandang, penulis berasumsi bahwa hal tersebut didasarkan karena pejabat negara telah menganggap hal korupsi adalah suatu hal yang biasa, sehingga menjadikan hal tersebut sebagai kebiasaan yang membuat kita telah terbiasa pula hingga menjalar kepada generasi selanjutnya.

Hanya satu pesan yang bisa penulis sampaikan sebagai wakil bagi orang tertindas, tumbangkan kebiasaan buruk, junjung kebenaran maka tegaklah keadilan. Seperti sebuah pepatah yang mengatakan bahwa, “kebiasaan itu belum tentu benar namun kebenaran harusnya dibiasakan”. [**]

**Oleh: Mustaqim B Malakalu
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Tags
SHARE