Lawrence mengatakan bahwa sekolah-sekolah yang berlokasi di kawasan pertempuran sengit dipastikan bakal rusak. Beberapa kerusakan terparah terjadi di wilayah Sagaing, yakni tempat pertempuran sengit terjadi.
Ia mengatakan, meskipun sulit untuk mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, hanya militer Myanmar yang memiliki akses terhadap pesawat yang digunakan untuk serangan udara.
"Senjata utama junta dalam konflik ini adalah serangan udara. Mereka membom dan membakar desa-desa dan sekolah-sekolah," kata Lawrence.
"Kedua belah pihak akan mengatakan bahwa sekolah yang mereka serang pada saat itu digunakan untuk tujuan militer. Hal ini sering dijadikan alasan untuk menyerang daerah-daerah yang seharusnya dilindungi," sambungnya.
Lawrence mengatakan, sekolah adalah satu-satunya tempat untuk mendidik anak-anak. "Pemusnahan" sekolah serupa artinya dengan menghilangkan kesempatan bagi anak-anak untuk memperoleh hak pendidikan.
Diketahui, Myanmar tengah terjerumus ke dalam konflik usai militer berhasil merebut kekuasaan dan menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi pada tiga tahun lalu. Kudeta ini memicu perlawanan bersenjata dan protes di seluruh negeri.
Menurut Action on Armed Violence, sekitar 50 ribu orang di Myanmar telah terbunuh akibat konflik ini.