"Misalnya ada karhutla di Karo, Sumatera Utara, begitu meluas, ada hujan, itu terbantu, sehingga upaya-upaya pemadaman cepat terbantu oleh faktor alam," kata Abdul Muhari.
Untuk itu ia berharap tahun ini cuaca tidak terlalu kering, masih ada awan hujan sehingga ketika ada eskalasi dari kekeringan dan karhutla, masih bisa berharap awan hujan bisa memadamkan karhutla atau setidaknya menjaga sumber-sumber air.
"Dalam jangka panjang kita harus mencari solusi-solusi permanen, misalnya preservasi air, karena ketika musim hujan bisa kita tahan di daerah-daerah resapan air dengan vegetasi yang cukup, sehingga saat musim kemarau, air ini kemudian bisa mengalir sehingga tetap bisa mengisi embung, waduk, dan daerah resapan air yang lain," kata Abdul Muhari.
Ia juga mengingatkan pentingnya pencegahan agar tak terjadi karhutla parah seperti tahun 2015, dimana kerugian negara ditaksir mencapai Rp116 triliun oleh Bank Dunia.
"Karhutla secara umum akan meningkatkan emisi CO2, harus kita putus, dan melihat karhutla sebagai upaya sistematis, yang paling utama adalah pencegahan, jangan sampai ada api. Karena begitu apinya sudah menjalar akan sangat sulit memadamkan," katanya.
Hingga saat ini BNPB pun telah melakukan upaya modifikasi cuaca dengan hujan buatan untuk menjaga daerah resapan air agar tidak kering.