Erika mengatakan ide kerja sama muncul setelah ada evaluasi dan benchmarking terhadap proses bisnis pelaporan BU dalam pemenuhan kewajiban iuran PNBP, yang mana terdapat tahapan tertentu yang serupa dengan proses bisnis pelaporan BU dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.
Inisiasi tersebut pun didukung penuh DJP dengan melakukan diskusi yang konstruktif secara bertahap.
Hasilnya, perjanjian kerja sama diyakini mampu memberikan dukungan bagi kedua belah pihak dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai bagian dari pemerintah yang turut mengawal penerimaan negara.
"Dasar pengenaan besaran iuran dan pajak pertambahan nilai (PPN) adalah sama-sama berdasarkan nilai penjualan, yaitu harga dikalikan volume. Untuk iuran dikalikan dengan tarif iuran niaga BBM dan pengangkutan gas bumi sebesar 0,025 persen, sedangkan untuk pengenaan PPN dikalikan tarif 11 persen," ujar Erika.
Atas kesamaan dasar pengenaan tersebut, lanjutnya, seharusnya BU melaporkan nilai penjualan yang sama baik ke BPH Migas maupun ke DJP.
"Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ditemukan ada beberapa BU, yang melaporkan berbeda antara penjualan kepada BPH Migas dengan Ditjen Pajak," paparnya.
Erika juga mengatakan tujuan perjanjian kerja sama adalah agar mampu membuat transparansi dan kepatuhan BU dalam melakukan pembayaran iuran, sehingga dapat meningkatkan PNBP, serta efektivitas dan efisiensi administrasi iuran.