CARAPANDANG.COM – “Habis manis, sepah dibuang,” betapa pandainya para sepuh kita membuat perumpamaan. Orang-orang yang dinilai sudah tidak berguna lagi disisihkan begitu saja. Kadang anda marah, kalau diperlakukan seperti sepah. Padahal, anda juga akan membuang sepah itu jika sudah tidak ada lagi rasa manisnya. Ini soal siapa pelaku dan siapa korbannya saja. Anda tidak suka jadi korban, itu saja.
Bukankah anda juga tidak ingin menyimpan sepah dirumah? Wajar jika sepah itu dibuang. Yang tidak wajar adalah yang belum menjadi sepah sudah dibuang. Juga tidak wajar jika anda sudah menjadi sepah, tetapi menuntut orang lain untuk terus menerus menikmati rasa manis yang sudah tidak anda miliki lagi. Ngomong-ngomong, ‘sepah’ itu apa sih?
Semasa kecil dulu, anda pasti pernah mengunyah tebu yang sudah dipotong-potong menjadi seukuran jari telunjuk atau kelingking. Rasa manis pasti memenuhi mulut anda, lalu tiba saatnya dimana kunyahan itu hanya menyisakan rasa tawar saja. Terkadang yang tertinggal malah ampasnya. Ampas itulah yang disebut sebagai sepah. Habis manis, sepah dibuang.
Memangnya harus diapakan lagi sepah itu jika tidak dibuang?