ICW lalu menyitir data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa DPR bahkan menjadi salah satu lembaga terkorup. Sejak 2004 hingga 2023, terdapat 76 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR.
Selain biaya politik yang terlewat mahal, transparansi pengelolaan dana partai politik yang minim serta tidak memadainya regulasi yang dapat menangkal masuknya kepentingan-kepentingan oligarki melalui sumbangan-sumbangan legal maupun ilegal kepada partai politik menjadikan terjadinya pembajakan demokrasi di Indonesia.
"Ketergantungan partai politik dan para calon peserta pemilu kepada big donors menyebabkan politik transaksional menjadi suatu hal yang lumrah," papar lembaga studi dan aktivisme antikorupsi itu.
Konsekuensinya, situasi tersebut ikut memengaruhi fungsi legislasi DPR. Misalnya, DPR dinilai cenderung lebih kilat dan secara tidak partisipatif dalam membahas RUU yang jelas-jelas ditentang oleh publik dan mengabaikan sejumlah RUU yang bertahun-tahun mandek sekalipun telah didesak untuk segera disahkan.
Dari total 263 RUU di Prolegnas 2019–2024, hanya 26 RUU yang berhasil disahkan hingga akhir masa jabatan DPR 2019–2024.