Saat saya menulis artikel ini, kehidupan tampaknya telah kembali normal. Dengan diberlakukannya gencatan senjata antara Israel dan Hamas, sinyal GPS telah pulih, bus-bus kembali beroperasi sesuai jadwal, dan rutinitas sehari-hari kembali berlanjut. Akan tetapi, untuk berapa lama? Akankah perdamaian ini bertahan lama, atau kandas seperti gencatan senjata yang rapuh pada November lalu?
Warga Palestina yang terpaksa meninggalkan rumah mereka terlihat dalam sebuah operasi militer Israel di kamp Nur Shams, sebelah timur Kota Tulkarm, Tepi Barat bagian utara, pada 10 Februari 2025. (Xinhua/Nidal Eshtayeh)
Pada Selasa (11/2), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali melontarkan ancaman bahwa jika para sandera yang ditahan di Gaza tidak diserahkan pada Sabtu (15/2), gencatan senjata dengan Hamas akan dibatalkan, dan Israel akan melanjutkan "pertempuran intensif" di Gaza.
Gangguan sinyal GPS mungkin hanya disrupsi sementara. Namun, hal itu melambangkan disorientasi yang lebih dalam, yaitu masyarakat yang terjebak dalam siklus ketakutan dan ketidakpastian tanpa akhir, di mana sejarah seakan-akan terulang kembali secara terus-menerus.
Di tanah ini, di mana gencatan senjata terasa seperti hitung mundur menuju konflik berikutnya, tantangan sesungguhnya bukanlah menemukan jalan untuk kembali ke keadaan normal, melainkan mencari jalan untuk terus maju -- menuju perdamaian yang abadi.