CARAPANDANG - Kementerian Luar Negeri Filipina mengatakan negaranya dan China menyepakati beberapa prinsip deeskalasi di Laut China Selatan agar dapat mengirim personel dan kargo ke kapal perang Filipina yang kandas di Beting Ayungin yang disengketakan.
“Filipina dan Republik Rakyat China telah mencapai pemahaman tentang prinsip-prinsip dan pendekatan yang akan dipatuhi oleh kedua belah pihak untuk menghindari kesalahpahaman dan kesalahan perhitungan dalam pelaksanaan misi rotasi dan pasokan ulang yang sah dan rutin di Filipina ke BRP Sierra Madre di Beting Ayungin,” menurut pernyataan kementerian pada Minggu.
Kesepakatan ini dicapai setelah serangkaian konsultasi menyusul pembahasan konstruktif kedua negara pada Mekanisme Konsultasi Bilateral ke-9 tentang Laut China Selatan di Manila pada 2 Juli 2024, tambah kementerian.
Manila mengatakan akan terus mempertahankan hak dan yurisdiksinya, termasuk Beting Ayungin, sejalan dengan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut, sebut pernyataan itu.
Beting Ayungin, yang juga dikenal sebagai Beting Thomas Kedua, adalah terumbu karang yang disengketakan dan diklaim oleh Filipina, China, Brunei, Malaysia, dan Vietnam.
Angkatan Laut Filipina mengerahkan kontingen Marinir kecil di kapal angkatan laut buatan AS milik mereka, Sierra Madre, yang sengaja kandas pada 1999 sebagai tanggapan atas klaim teritorial China.
Afiliasi teritorial beberapa pulau dan terumbu karang di Laut China Selatan telah menjadi subyek perselisihan antara China, Filipina, dan beberapa negara Asia-Pasifik lainnya selama beberapa dekade.
Cadangan minyak dan gas yang signifikan telah ditemukan di landas kontinen pulau-pulau tersebut, termasuk Kepulauan Paracel, Pulau Thitu, Beting Scarborough, dan Kepulauan Spratly, dengan Whitson Reef sebagai bagiannya.
Pada 2016, setelah adanya gugatan dari Filipina, Mahkamah Arbitrase Antarbangsa di Den Haag memutuskan bahwa China tidak memiliki dasar untuk mengklaim wilayah di Laut China Selatan.
Pengadilan memutuskan bahwa pulau-pulau tersebut bukanlah wilayah yang disengketakan dan bukan merupakan zona ekonomi eksklusif, tetapi Beijing menolak untuk mengakui atau menerima keputusan tersebut.agar dapat mengirim personel dan kargo ke kapal perang Filipina yang kandas di Beting Ayungin yang disengketakan.
Filipina dan China Sepakat Deeskalasi di Laut China Selatan
Kementerian Luar Negeri Filipina mengatakan negaranya dan China menyepakati beberapa prinsip deeskalasi di Laut China Selatan agar dapat mengirim personel dan kargo ke kapal perang Filipina yang kandas di Beting Ayungin yang disengketakan. “Filipina dan Republik Rakyat China telah mencapai pemahaman tentang prinsip-prinsip dan pendekatan yang akan dipatuhi oleh kedua belah pihak untuk menghindari kesalahpahaman dan kesalahan perhitungan dalam pelaksanaan misi rotasi dan pasokan ulang yang sah dan rutin di Filipina ke BRP Sierra Madre di Beting Ayungin,” menurut pernyataan kementerian pada Minggu. Kesepakatan ini dicapai setelah serangkaian konsultasi menyusul pembahasan konstruktif kedua negara pada Mekanisme Konsultasi Bilateral ke-9 tentang Laut China Selatan di Manila pada 2 Juli 2024, tambah kementerian. Manila mengatakan akan terus mempertahankan hak dan yurisdiksinya, termasuk Beting Ayungin, sejalan dengan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut, sebut pernyataan itu. Beting Ayungin, yang juga dikenal sebagai Beting Thomas Kedua, adalah terumbu karang yang disengketakan dan diklaim oleh Filipina, China, Brunei, Malaysia, dan Vietnam. Angkatan Laut Filipina mengerahkan kontingen Marinir kecil di kapal angkatan laut buatan AS milik mereka, Sierra Madre, yang sengaja kandas pada 1999 sebagai tanggapan atas klaim teritorial China. Afiliasi teritorial beberapa pulau dan terumbu karang di Laut China Selatan telah menjadi subyek perselisihan antara China, Filipina, dan beberapa negara Asia-Pasifik lainnya selama beberapa dekade. Cadangan minyak dan gas yang signifikan telah ditemukan di landas kontinen pulau-pulau tersebut, termasuk Kepulauan Paracel, Pulau Thitu, Beting Scarborough, dan Kepulauan Spratly, dengan Whitson Reef sebagai bagiannya. Pada 2016, setelah adanya gugatan dari Filipina, Mahkamah Arbitrase Antarbangsa di Den Haag memutuskan bahwa China tidak memiliki dasar untuk mengklaim wilayah di Laut China Selatan. Pengadilan memutuskan bahwa pulau-pulau tersebut bukanlah wilayah yang disengketakan dan bukan merupakan zona ekonomi eksklusif, tetapi Beijing menolak untuk mengakui atau menerima keputusan tersebut.