Tantangan sesungguhnya bukanlah menemukan jalan untuk kembali ke keadaan normal, melainkan mencari jalan untuk terus maju -- menuju perdamaian yang abadi.
CARAPANDANG.COM, YERUSALEM -- Dia terlambat lebih dari satu jam. Saya duduk di sebuah kafe yang ramai di Tel Aviv, membaca kembali catatan saya untuk ketiga kalinya, dan bertanya-tanya apakah dia benar-benar akan datang. Saat saya hendak meninggalkan tempat itu, seorang remaja laki-laki dengan napas terengah-engah menerobos pintu.
"Saya sungguh minta maaf," ujarnya dengan wajah memerah lantaran berlari. "Sinyal GPS kembali terganggu. Rute bus yang biasa saya naiki tidak beroperasi; dan saya harus berganti bus tiga kali untuk bisa sampai ke sini. Benar-benar kacau."
Nama remaja itu Eitan. Dia berusia 17 tahun dan saat ini duduk di bangku sekolah menengah atas di Israel. Seperti banyak orang lainnya, hidup Eitan dijungkirbalikkan oleh putaran terbaru dari rangkaian kekerasan antara Israel dan negara-negara tetangganya. Militer Israel mengacaukan sinyal GPS dalam upaya menggagalkan berbagai ancaman dari Hizbullah, Hamas, dan kelompok lainnya, namun dampaknya terasa hingga melampaui medan perang.
"Tidak hanya saya," sambung Eitan. "Tak seorang pun dapat mengandalkan apa pun lagi -- peta tidak berfungsi, bus tidak beroperasi, pengiriman dibatalkan. Seolah-olah seluruh negara kami telah kehilangan arah."