Dia mengungkapkan, berdasarkan laporan Greenpeace yang dirilis baru-baru ini, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan. Tidak hanya itu, sedimentasi yang mengalir ke laut telah menyebabkan kerusakan pada terumbu karang, mengganggu sistem ekologi laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat.
“Jika ini dibiarkan, Raja Ampat bisa kehilangan status geopark-nya. Dunia akan menyalahkan kita karena gagal menjaga warisan alam,” tegas Capt. Hakeng.
Di sisi lain, PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha dari PT Antam Tbk, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengklaim bahwa operasional mereka telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Justru karena BUMN adalah wajah negara, maka seharusnya mereka menjadi teladan dalam menjaga lingkungan, bukan pelanggar,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa penghentian ini adalah ujian terhadap komitmen pemerintah dalam membangun paradigma ekonomi yang tidak merusak tatanan ekologis. Maka dalam kerangka ini, prinsip free, prior and informed consent (FPIC) menjadi hal mendasar.
“Jangan sampai masyarakat adat hanya dijadikan objek. Mereka harus menjadi subjek utama dalam pengambilan keputusan karena merekalah yang paling terdampak,”katanya.
Tambang Nikel di Raja Ampat Harus Dihentikan Total
Keputusan Bahlil yang menghentikan sementara penambangan nikel di Raja Ampat menjadi sinyal bahwa negara mulai menyadari urgensi perlindungan lingkungan di wilayah-wilayah dengan nilai ekologis tinggi.