CARAPANDANG - Sejak Februari 2022, Ukraina telah menghadapi invasi besar-besaran Rusia yang mengakibatkan wilayah timurnya diduduki. Konflik tersebut memicu darurat militer di Ukraina yang menunda sementara pesta demokrasi alias pemilihan presiden (Pilpres) di negara ini.
Namun meski masyarakat Ukraina telah menyatakan dukungan luas terhadap penundaan tersebut, beberapa politisi - baik dalam maupun luar negeri - mempertanyakan apakah hal tersebut bertentangan dengan cita-cita demokrasi negara tersebut.
Bahkan anggota pemerintahan Zelensky sendiri telah mengisyaratkan keterbukaan terhadap kemungkinan diadakannya pemungutan suara.
"Kami tidak akan menutup kemungkinan (Pemilu) ini," kata Menteri Luar Negeri Dmytro Kuleba pada Konferensi Kebijakan Dunia tahunan bulan lalu.
"Presiden Ukraina sedang mempertimbangkan dan memperhitungkan berbagai pro dan kontra," tambahnya dikutip dari Al Jazeera.
Namun, Institut Sosiologi Internasional Kyiv (KIIS) mengadakan jajak pendapat nasional pada bulan Oktober, delapan dari 10 responden mengatakan pemilihan presiden dan parlemen harus ditunda sampai perang selesai.
Pada bulan yang sama, survei yang dilakukan oleh International Republican Institute (IRI) menguatkan opini publik yang luas. Hanya dua dari 10 responden yang meyakini pemilihan presiden harus diadakan di masa perang.