Perusahaan tersebut, menurut Ristadi memiliki pasar di dalam negeri dan ekspor. "Tapi enggak ada order, bikin (produksi) enggak kejual," ujar Ristadi.
Dengan tutupnya pabrik itu, jumlah pabrik TPT yang harus tiarap di dalam negeri sejak awal 2024 ini pun bertambah. "Data KSPN masih terus berjalan. Saya juga lagi turun ke daerah-daerah untuk kroscek dan begitu keadaannya," kata Ristadi.
Dia menuturkan, PHK menyisakan dampak menyedihkan bagi pekerja. Kehilangan sumber penghasilan berdampak berantai. Mulai dari masalah biaya hidup sehari-hari, sampai biaya sekolah dan tagihan cicilan yang belum beres.
Tutupnya pabrik-pabrik dalam negeri mendorong tingginya angka tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini pun menjadi kabar buruk, tingginya angka PHK mendorong melemahnya daya beli yang tentunya akan mendorong anjloknya perekonomian Indonesia.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) terbaru, pada periode Agustus 2024 terjadi lonjakan pada angka tenaga kerja yang ter-PHK sebesar 23,72% menjadi 46.240, dibandingkan periode Agustus 2023 sebesar 37.375.