"Orang-orang kelaparan," tutur Mohammed. "Jadi, saya dan saudara-saudara saya mengumpulkan semua yang kami miliki di rumah ... Kami memutuskan bahwa tidak ada seorang pun di sekitar kami yang boleh kelaparan, meskipun makanannya sederhana."
"Kami tidak hanya menyediakan makanan, tetapi juga mencoba untuk saling menguatkan," ujarnya. "Bahkan sepiring makanan hangat pun bisa memberikan harapan kepada seseorang bahwa dia tidak dilupakan."
Di seluruh Gaza, upaya-upaya akar rumput seperti ini bermunculan. Di sebuah tempat penampungan sementara di dekat Deir al-Balah, Gaza tengah, Nidal Banat (55) mengoordinasikan distribusi makanan di antara tenda-tenda yang menampung para pengungsi. Dulunya, Banat adalah seorang pemilik toko di permukiman Shuja'iyya, Gaza City. Kini, pria itu telah kehilangan rumah dan mata pencahariannya dalam sebuah serangan udara Israel.
"Saya bahkan tidak sempat mengunci pintu ketika melarikan diri," kata Banat kepada Xinhua. "Namun, bagian tersulitnya bukanlah apa yang hilang dari kami. Melainkan mengetahui bahwa dunia telah melihat kami kehilangan, tetapi tidak melakukan apa pun."
"Kami semua mengungsi. Kami semua lapar," ujar Banat. "Kami sadar bahwa tidak ada yang akan datang untuk menyelamatkan kami ... Jadi, kami saling membantu satu sama lain untuk bertahan hidup. Kami adalah satu kesatuan, berbagi satu perjuangan."